Insightkaltim.com, Jakarta – Di tengah ketidakpastian ekonomi global akibat ketegangan perdagangan internasional, ekonomi Indonesia dinilai masih cukup stabil. Pemerintah, legislator, hingga kalangan ekonom menilai, ketahanan ekonomi domestik tetap terjaga meski risiko resesi global meningkat.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan, berdasarkan data Bloomberg pada Februari 2025, probabilitas Indonesia mengalami resesi hanya di bawah 5%. Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan Meksiko (38%), Kanada (35%), maupun Amerika Serikat (25%).
“Dengan fondasi ekonomi nasional yang solid, diversifikasi mitra dagang, serta hilirisasi industri yang diperkuat, Indonesia berpeluang besar menjaga stabilitas dan daya saing,” ujar Airlangga, dikutip Senin (24/3/2025).
Namun demikian, di tengah optimisme itu, daya beli masyarakat menjadi sorotan setelah mencuatnya data deflasi tahunan menjelang Ramadan dan Lebaran. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Februari 2025 terjadi deflasi sebesar 0,09%, pertama kalinya sejak Maret 2000.
Deflasi tersebut juga diikuti dengan merosotnya impor barang konsumsi. Pada Februari 2025, impor barang konsumsi tercatat hanya US$ 1,47 miliar, turun 10,61% dibandingkan Januari, dan anjlok 21,05% dibandingkan Februari 2024.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, penurunan impor ini menandakan lemahnya daya beli masyarakat. “Terkonfirmasi bahwa permintaan domestik melemah sehingga harga bahan makanan dan barang konsumsi turun,” katanya.
Senada, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menilai, melemahnya daya beli masyarakat disebabkan oleh penurunan pendapatan riil akibat gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah sektor. “PHK besar-besaran telah melemahkan daya beli masyarakat, apalagi di tengah kenaikan harga pangan,” ujar Esther.
Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membantah deflasi terjadi karena pelemahan daya beli. Menurutnya, deflasi dipicu oleh penurunan harga barang yang diatur pemerintah (administered prices), antara lain diskon tarif listrik, pajak tiket pesawat, hingga tarif tol. “Kalau deflasi itu karena administered prices yang turun, bukan karena krisis,” tegas Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN.
Ia juga menekankan bahwa beberapa sektor manufaktur, seperti tekstil dan alas kaki, masih tumbuh positif. Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) tumbuh 4,3% pada 2024, sementara industri alas kaki naik 6,8% di tahun yang sama. Bahkan, ekspor alas kaki Indonesia mencatatkan pertumbuhan dua digit sebesar 17% di awal 2025. “Ini landasan optimisme yang harus terus dijaga,” ujarnya.
Terlepas dari itu, survei Economic Experts Survey yang dirilis LPEM FEB UI menunjukkan bahwa 55% dari 42 ahli ekonomi menilai kondisi ekonomi Indonesia memburuk dibandingkan tiga bulan sebelumnya.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menegaskan fundamental ekonomi Indonesia tetap kuat. Ia menekankan pentingnya integrasi kebijakan fiskal dan moneter untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional.
“Kita pernah tumbuh 7%-8% pada era Soeharto. Indonesia perlu kembali mendorong pertumbuhan untuk menciptakan lapangan kerja,” ujar Misbakhun dalam Capital Market Forum 2025 di Gedung BEI, Jakarta (21/3/2025).(int/din)
 
			 
		    
 
                                



