Munas II Asosiasi Kabupaten Penghasil Sawit Indonesia (AKPSI) di Jakarta bukan sekadar ajang memilih ketua umum baru. Di balik forum itu, tersimpan kegelisahan panjang daerah-daerah penghasil sawit yang selama bertahun-tahun hanya menjadi penonton dalam industri yang justru hidup dari tanah mereka.
Terpilihnya Bupati Penajam Paser Utara, Mudyat Noor, sebagai Ketua Umum AKPSI periode 2025–2030 menyulut harapan baru: bahwa perjuangan daerah penghasil sawit akhirnya memiliki komando yang lebih tegas dan terarah.
Dalam pandangannya, Indonesia sebagai negara besar tidak boleh membiarkan kabupaten penghasil sawit menghadapi masalah klasik tanpa perlindungan. Minimnya pendapatan daerah, konflik sosial akibat perebutan lahan, hingga infrastruktur rusak karena mobilisasi industri—semua itu selama ini ditanggung oleh pemerintah daerah tanpa dukungan memadai.
Kondisi timpang semakin terasa karena sebagian perusahaan sawit menguasai ribuan hektare lahan, tetapi kontribusinya ke daerah sering kali—meminjam istilah yang disampaikan Mudyat—nyaris tak tercium. Mereka bergerak bebas, seolah tidak tersentuh kewajiban, dan dalam beberapa kasus berperilaku layaknya “negara dalam negara”.
Karena itu, AKPSI perlu bertransformasi dari sekadar wadah komunikasi menjadi alat perjuangan yang punya daya dorong nyata. Payung hukum retribusi tandan buah segar (TBS) harus diperjuangkan bersama. Begitu pula alokasi dana sawit yang dikelola BPDPKS—yang selama ini dinilai kurang berpihak kepada daerah penghasil—perlu diarahkan kembali agar manfaatnya sampai ke masyarakat.
Jika momentum ini dimanfaatkan dengan serius, AKPSI bisa menjadi poros baru dalam mengawal tata kelola sawit nasional. Di tangan kepengurusan baru, harapannya sederhana tetapi mendesak:
sawit tidak hanya menjadi komoditas unggulan nasional, tetapi menjadi sumber kesejahteraan bagi daerah tempat ia tumbuh.(adv/kominfoppu)





